Postingan

Amplop Merah Marun

  Lipat demi lipat pakaian aku tata dalam koper. Bukan sebuah koper besar yang memuat banyak barang, tapi cukup untuk bekal merantau sampai… entah sampai kapan. “Le, yakin kali ini mau berangkat lagi?” Ibu yang dari tadi hanya diam memandangiku dari ujung ranjang akhirnya memecah keheningan. Nadanya adalah ragu, kecewa, khawatir, dan penuh harap jadi satu. Beliau masih berusaha menumbangkan yakinku. “Nggih, Bu. Rus harus berangkat besok pagi.” Aku menjawab tanpa menatap wajah Ibu, takut goyah. “Belum lagi seminggu sampai, Le, kamu sudah mau pergi lagi?” Aku diam. “Tidak mau tinggal saja di rumah? Meneruskan usaha Bapak, lalu menikah, misalnya?” Aku diam, ibu diam, lalu lengang. Aku berhenti menata, menghela nafas, lalu menoleh pada wajah ibu yang lugu. Dari guratannya, aku tahu dia rindu. Aku juga, teramat rindu. Tapi samar-samar sebuah amplop merah marun di meja lampu dekat tempat duduk ibu kembali mengeraskan tekadku yang sempat kendur. Tidak bisa tidak, aku tetap har